Minggu, 18 Desember 2011

Review Jurnal

Evaluasi Program Bantuan Dana Bergulir
Melalui KSP/USP Koperasi
(Pola PKPS-BBM, Agribisnis dan Syariah)

Nama Kelompok :
1. Astri Rhianti Poetri        (21210198)
2. Efa Wahyuni                   (22210258)
3. Fika Fitrianti                   (22210770)
4. Nova Farhan Septiani   (25210041)
Abstrak
Artikel ini didasarkan pada studi yang dilakukan di enam provinsi selama tahun 2006. Bahkan, penelitian terdiri beberapa aspek evaluasi program dana bergulir dan untuk beberapa alasan artikel dalam publikasi ini berfokus pada analisis efek. Studi pada analisis dampak program dana bergulir untuk memberdayakan Koperasi Tabungan dan Pinjaman termasuk bisnis yang SMEA sebagai anggota dari koperasi-mengungkapkan beberapa menarik temuan. Beberapa dari mereka yang diusulkan untuk digunakan dalam restrukturisasi kebijakan bergulir dana program.

Pendahuluan
Upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dalam banyak hal dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dunia usaha. Dalam konteks ini, pengembangan bisnis usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih menghadapi kendala klasik yaitu permodalan. Inti permasalahannya adalah kondisi internal UMKM yang belum memenuhi persyaratan dan prosedur di lembaga keuangan, sedangkan lembaga keuangan menganut prinsip kehati-hatian (prudential principles). Dalam kaitan ini, koperasi simpan pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP Koperasi) diharapkan menjadi lembaga intermediasi untuk mengatasi kebutuhan modal UMKM, tanpa mengabaikan prinsip yang berlaku. Dewasa ini, tercatat sekitar 36.700 unit KSP/USP Koperasi, dengan anggota/nasabah sekitar 10,5 juta orang, asset lebih kurang Rp. 6,5 trilyun dan pinjaman yang disalurkan antara Rp. 4,5-6,0 trilyun. Data ini merefleksikan peran substansial dan kapasitas KSP/USP Koperasi dalam mobilisasi dana untuk mendorong kekuatan UMKM kearah yang lebih produktif dan mandiri.

Pembahasan


Perlakuan terhadap umur KSP/USP Koperasi Contoh tanpa memperhatikan
aspek badan hukumnya.

Program dana bergulir dengan pola PKPS-BBM dan pola Agribisnis, umumnya dilaksanakan oleh KSP/USP Koperasi berklasifikasi A, sedangkan pola Syariah oleh KSP/USP Koperasi kelas B. Untuk semua pola, tidak ditemukan perbedaan nyata dalam ragam umur KSP/USP Koperasi contoh (sekitar 5-8 tahun), dan tampaknya pengalaman dalam melayani anggota/nasabahnya relatif seragam. Jumlah anggota KSP/USP Koperasi contoh dengan pola PKPS-BBM dan Agribisnis relatif lebih tinggi (antara 156-165 anggota) dibandingkan dengan KSP/USP contoh pola Syariah (sekitar 53 orang). Perbedaan ini ditengarai karena plafond bantuan dana per anggota yang dilayani pada pola Agribisnis lebih tinggi dibandingkan dengan kedua pola lainnya. Jumlah anggota yang dilayani KSP/USP Koperasi contoh (semua pola) selama tiga tahun terakhir hampir seragam (antara 123-150 anggota/nasabah). Terdapat kecenderungan, KSP/USP Koperasi contoh pola Agribisnis mampu melayani anggota lebih banyak dibandingkan dengan koperasi lainnya. Menarik pula disimak, bahwa tingkat tunggakan anggota/nasabah pada
KSP/USP Koperasi pola Syariah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua pola lainnya. Diduga kapabilitas manajemen KSP/USP Koperasi pola Syariah menjadi salah satu penyebabnya.

Proses Impelementasi Program Dana Bergulir Kepada KSP/USP Koperasi

Efektivitas proses penyaluran dan penerimaan bantuan perkuatan program dana bergulir dievaluasi berdasarkan variabel penilai dalam petunjuk pelaksanaan Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) program dana bergulir. Dalam hal persepsi terhadap proses seleksi calon KSP/USP koperasi contoh, 50% menyatakan telah berlangsung dengan baik, sangat baik ± 35 persen dan
hanya sebagian kecil yang menilai tidak cukup baik. Persepsi seleksi ini memperllihatkan bahwa manfaat yang baik dari proses seleksi berkorelasi positif dengan kualitas efek program perkuatan, seperti proses pencairan dana, pendampingan, penyaluran, tenaga pendamping, monitoring dan evaluasinya.

Dinamika Kegiatan Bantuan Perkuatan Dana Pada KSP/USP Koperasi

Dinamika kegiatan tercermin dalam aspek manajemen KSP/USP Koperasi ketika mengelola dan menyalurkan dana bantuan perguliran dengan mencakup efek manajerial, teknis, dan finansial/ekonomi, ketenagakerjaan. Dari aspek ketepatan waktu, dinamika penyaluran dana penyaluran ke KSP/USP Koperasi ditemukan relatif baik, hanya < 10 persen KSP/USP Koperasi yang menyatakan kurang baik, atau tidak sesuai dengan perencanaan. Berkenaan dengan dinamika ketepatan jumlah dana yang disalurkan ke KSP/USP Koperasi pada umumnya dinilai relatif baik, dan < 10 persen yang menyatakan jumlah dana perkuatan tidak sesuai dengan perencanaan semula. Jika analisis diseparasikan berdasarkan pola pergulirannya, ternyata penyaluran dana pada pola Agribisnis relatif lebih tepat waktu dibandingkan dengan kedua pola lainnya, meski secara keseluruhan ditemukan tidak berbeda nyata. Selanjutnya, dari sisi dinamika keragaan ketepatan sebaran dana, umumnya ditemukan relatif baik, meski tidak sebaik
dalam hal ketepatan waktu dan jumlah. Ketepatan sebaran dana pada pola PKPS-BBM dan Agribisnis ditemukan relatif lebih baik dibandingkan dengan pola Syariah.


Kesimpulan

Program pola perkuatan dana melalui pola perguliran pada dasarnya adalah suatu upaya kelembagaan (institutional building) yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja usaha UKM/anggota KSP/USP Koperasi. Hal ini sekaligus untuk meningkatkan kinerja KSP/USP Koperasi sebagai lembaga intermediasi dalam program perguliran dana. Dalam kerangka yang lebih luas, program ini diharapkan menjadi inisiasi dan  trigger untuk mengembangkan perekonomian wilayah melalui aktivitas ekonomi produktif sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah bersangkutan. Secara teoritis, dalam kerangka kelembagaan, aturan main (rules of the game)
dan aturan representasi (rules of the representation) sangat perlu dituangkan
dalam bentuk petunjuk program perguliran dana.


Review Jurnal

PERANAN KEPEMIMPINAN PADA KOPERASI SAPI PERAH DALAM
MEMPERTAHANKAN KEBERLANJUTAN USAHA ANGGOTANYA
Nama Kelompok :
1. Astri Rhianti Poetri        (21210198)
2. Efa Wahyuni                   (22210258)
3. Fika Fitrianti                   (22210770)
4. Nova Farhan Septiani   (25210041)
Abstrak
Inpres No 4./1994  yang tidak memberikan proteksi  terhadap usaha susu lokal mengakibatkan persaingan di antara koperasi sapi perah s emakin ketat.  Hal ini mengharuskan para pengurus mel akukan pembenahan manajemen ko perasinya. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi Propinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan  adalah survai. Pengambilan sampel  koperasi dilakukan  secara multistage cluster random sampling.  Penelitian dilakukan pada 4 ko perasi dengan
mewawancarai  140 orang peternak sapi perah  dan 15 orang informan kunci .  Data dianalisis dengan menggunakan korelasi rank Spearman dan uji beda The Wilcoxon-Man Whitney.

Pendahuluan
Usaha sapi perah yang dikelola secara profesional diyakini mampu memberikan keuntungan bagi peternak, koperasi dan pemerintah.  Perkembangan usaha sapi perah di Jawa Barat telah terbukti mampu bertahan dalam menghadapi badai krisis ekonomi yang berkepanjangan.  Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi terbesar penghasil susu selain Jawa Timur, yang ditunjukkan oleh potensinya berupa : populasi sapi perah 74.255 ekor, produksi susu 430.000 kg/hari, rataan produksi 10,5 liter/ekor/hari, jumlah koperasi/KUD Susu ada 24 buah dan13 unit usaha sapi perah swasta nonkoperasi serta 5 Industri Pengolahan Susu (IPS) (Ginanjar, 2006).  Permasalahan yang dihadapi  peternak khususnya di Jawa Bar at secara internal menyangkut masalah teknis, luas lahan yang sempit, dan masih rendahnya sumber daya peternak, sedangkan va riabel eksternal berupa kebijakan pe merintah dan organisasi institusional yang menjamin i nsentif produksi.  Permasalahan tersebut menghambat kemajuan usaha di tingkat anggota (peternak sapi perah) maupun di tingkat koperasi. 
Kondisi ini diperparah dengan munculnya Inpres No 4/1998 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional, yang berimplikasi pada tidak adanya proteksi terhadap susu lokal sehingga IPS bebas melakukan impor ataupun membeli susu dalam negeri berapa pun jumlahnya.  Hal ini menimbulkan kekhawatiran peternak sapi perah lokal karena tidak ada lagi jaminan pasar untuk susu dalam negeri. Akibat lain, muncul persaingan ketat antar Koperasi Peternak Sapi Perah maupun KUD Unit Sapi Perah dalam menghasilkan susu berkualitas. Persaingan yang semakin ketat menjad ikan para pengurus (terutama ketua) Koperasi/  KUD Sapi Perah  melakukan optimalisasi kepemimpinannya  melalui pembenahan baik dalam hal pela yanan  sarana produksi dan hasil prod uksi  maupun
pembinaan terhadap anggotanya agar produksi susunya dapat terserap IPS.  Untuk itu, pengurus koperasi berupaya mempengaruhi dan mengarahkan tingkah laku anggotanya agar berusaha mencapai tujuan  organisasi yang telah ditetap kan bersama.  Hal  ini dilakukan melalui proses pelembagaan tata nilai koperasi oleh pimpinan pada organisasi koperasi dengan cara  sosialisasi dan pelaksanaan tata nilai koperasi serta  pelaksanaan sanksi.

Pembahasan

Keadaan Umum Koperasi Sampel
Dari 9 Koperasi/KUD Sapi Perah yang ada di Kabupaten Bandung dan kota Cimahi, diperoleh 4 koperasi sampel yang terdiri dari 2 Koperasi Mono Usaha (KPBS, KPSBU) termasuk koperasi besar  dan maju, dan 2 Koperasi Mult i Usaha (KUD Cipta Sari dan KUD Sarwa Mukti) yang termasuk koperasi yang sedang berkembang. Sesuai kategori tersebut, KPBS dan KPSBU memiliki anggot a yang cukup banyak (> 6.000
peternak sapi perah) dan populasi sapi pencapai 15.000 ekor sementara KUD Cipta Sari anggotanya 453 peternak, popula si sapi sebanyak 944 ekor dan KUD Sarwa Mukti anggotanya 1.100 peternak, namun masih dijumpai lebih dari 1 anggota pada 1 keluarga peternak, populasi sapi 3.245 ekor (Laporan Tahunan Koperasi Sampel, 2005).

Keberlanjutan Usaha Anggota Koperasi

Keberlanjutan usaha merupakan upaya seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan segala kemampuan, pengetahuan, akses, dan tuntutan serta kekayaan yang d imiliki secara lokal maupun gl obal dan terus meningkatkan kemampuan dirinya dengan bekerja sama dengan orang lain, berinovasi, berkompetisi agar dapat bertahan dalam kondisi berbagai peru bahan (Chambers dan Conway,1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberlanjutan usaha anggota untuk
semua koperasi sampel termasuk kategori cukup.  KPSBU jika dilihat dari pelaksanaan kepemimpinan terutama ketua dan manajer koperasi sudah berorientasi prestasi, namun tingkat keberlanjutan anggotanya sama saja.  Hal ini disebabkan tingkat keberlanjutan usaha anggota tidak hanya ditentukan oleh tingkat pembinaan, pengarahan dan pelayanan koperasi tetapi oleh kemampuan permodalan dan  kelayakan usaha anggota, ketersediaan tenaga kerja untuk mencari rumput dan mengurus ternak, serta motivasi peternak dalam mengembangkan usahanya, apakah cenderung berorientasi pada produksi atau konsumsi terlebih dahulu, sehingga menentukan skala pemilikan ternak yang dapat dicapai.          Keberlanjutan  usaha anggota  Koperasi Mono Usaha lebih baik  disbanding Koperasi Multi Usaha jika dilihat dari kemampuan peternak sebagai manajer dan pekerja, kerja sama kelompok, jaminan insentif (harga susu yang diter ima peternak) dan upaya peternak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, namun secara keseluruhan kepercayaan diri peternak  tinggi,  sifat inovatif peternak  rendah, dan upaya mempertahankan usaha ternak sapi perah  lebih rendah pada Koperasi Mul ti Usaha dibanding Koperasi Mono Usaha.  Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pada koperasi sapi pera h cukup berperan terutama jika ditunjang oleh kesiapan anggotanya.

Kesimpulan
Secara umum pelaksanaan kepemimpinan pada Koperasi/KUD   Sapi Perah sudah mengacu pada orientasi tugas, prestasi, dan secara khusus pelaksanaan kepemimpinan di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang lebih berorientasi pada prestasi dibandingkan dengan Koperasi /KUD Sapi Perah lainnya. Kemampuan anggota Koperasi/KUD Sapi Perah dalam mencapai keberlanjutan usaha
baru dalam taraf mempertahankan belum mampu mengembangkan usahanya secara profesional. Pelaksanaan kepemimpinan berhubungan positif dengan  keberlanjutan usaha anggota Koperasi/KUD Sapi Perah. Tingkat pelaksanaan kepemimpinan  pada Koperasi Mono Usaha  lebih berorientasi prestasi dibandingkan dengan Koperasi Multi Usaha Peternak Sapi Perah. Anggota Koperasi Mono Usaha leb ih  lebih dapat mencapai  keberlanjutan usaha dibandingkan dengan anggota Koperasi Multi Usaha/KUD Sapi Perah. 

Review Jurnal

KOPERASI MEWUJUDKAN KEBERSAMAAN DAN KESEJAHTERAAN: MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL DAN REGIONALISME BARU
Nama Kelompok :
1. Astri Rhianti Poetri           (21210198)
2. Efa Wahyuni                       (22210258)
3. Fika Fitrianti                       (22210770)
4. Nova Farhan Septiani        (25210041)
Abstrak
Membangun sistem Perekonomian Pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengan sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijak apabila menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada Pemerintah. Koperasi sebagai suatu gerakan dunia telah membuktikan diri dalam melawan ketidakadilan pasar karena hadirnya ketidaksempurnaan pasar. Bahkan cukup banyak contoh bukti keberhasilan koperasi dalam membangun posisi tawar bersama dalam berbagai konstelasi perundingan, baik dalam tingkatan bisnis mikro hingga tingkatan kesepakatan internasional. Oleh karena itu banyak Pemerintah di dunia yang menganggap adanya persamaan tujuan negara dan tujuan koperasi sehingga dapat bekerjasama.
Pembahasan
Meskipun demikian di negeri kita sejarah pengenalan koperasi didorong oleh keyakinan para Bapak Bangsa untuk mengantar perekonomian Bangsa Indonesia menuju pada suatu kemakmuran dalam kebersamaan dengan semboyan "makmur dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran". Kondisi obyektif yang hidup dan pengetahuan masyarakat kita hingga tiga dasawarsa setelah kemerdekaan memang memaksa kita untuk memilih menggunakan cara itu. Persoalan pengembangan koperasi di Indonesia sering dicemooh seolah sedang menegakan benang basah. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran ganda dalam pengembangan koperasi dalam fungsi "regulatory" dan "development". Tidak jarang peran ”development”  justru tidak mendewasakan koperasi.
Koperasi sejak kelahiranya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu dasar "self help and cooperation" atau "individualitet dan solidaritet" selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Sejak akhir abad yang lalu gerakan koperasi dunia kembali memperbaharui tekadnya dengan menyatakan keharusan untuk kembali pada jati diri yang berupa nilai-nilai dan nilai etik serta prinsip-prinsip koperasi, sembari menyatakan diri sebagai badan usaha dengan pengelolaan demoktratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menghadapi milenium baru dan globalisasi kembali menegaskan pentingnya nilai etik yang harus dijunjung tinggi berupa: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, openness, social responsibility and caring for others) (ICA,1995). Runtuhnya rejim sosialis Blok-Timur dan kemajuan di bagian dunia lainnya seperti Afrika telah menjadikan gerakan koperasi dunia kini praktis sudah menjangkau semua negara di dunia, sehingga telah menyatu secara utuh. Dan kini keyakinan tentang jalan koperasi itu telah menemukan bentuk gerakan global.
Menyambut pengeseran tatanan ekonomi dunia yang terbuka dan bersaing secara ketat, gerakan koperasi dunia telah menetapkan prinsip dasar untuk membangun tindakan bersama. Tindakan bersama tersebut terdiri dari tujuh garis perjuangan sebagai berikut :
­Pertama, koperasi akan mampu berperan secara baik kepada masyarakat ketika koperasi secara benar berjalan sesuai jati dirinya sebagai suatu organisasi otonom, lembaga yang diawasi anggotanya dan bila mereka tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi;
Kedua, potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koperasi dihormati dalam peraturan perundangan;
Ketiga, koperasi dapat mencapai tujuannya bila mereka diakui keberadaannya dan aktifitasnya;
Keempat, koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lainnya bila terjadi "fair playing field";
Kelima, pemerintah harus memberikan aturan main yang jelas, tetapi koperasi dapat dan harus mengatur dirinya sendiri di dalam lingkungan mereka (self-regulation);
Keenam, koperasi adalah milik anggota dimana saham adalah modal dasar, sehingga mereka harus mengembangkan sumberdayanya dengan tidak mengancam identitas dan jatidirinya, dan;
Ketujuh, bantuan pengembangan dapat berarti penting bagi pertumbuhan koperasi, namun akan lebih efektif bila dipandang sebagai kemitraan dengan menjunjung tinggi hakekat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan.
Penutup
Bagi koperasi Indonesia membangun kesejahteraan dalam kebersamaan telah cukup memiliki kekuatan dasar kekuatan gerakan. Daerah otonom harus menjadi basis penyatuan kekuatan koperasi untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dan arus pengaliran surplus dari bawah. Ada baiknya koperasi Indoensia melihat kembali hasil kongres 1947 untuk melihat basis penguatan koperasi pada tiga pilar kredit, produksi dan konsumsi (Adakah keberanian melakukan restrukturisasi koperasi oleh gerakan koperasi sendiri?)   
Dengan mengembalikan koperasi pada fungsinya (sebagai gerakan ekonomi) atas prinsip dan nilai dasarnya, koperasi akan semakin mampu menampilkan wajah yang sesungguhnya menuju keadaan "bersama dalam kesejahteraan" dan "sejahtera dalam kebersamaan”.
Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_1.htm

Review Jurnal

DARI ILMU BERKOMPETISI KE ILMU BERKOPERASI
Nama Kelompok :
1. Astri Rhianti Poetri        (21210198)
2. Efa Wahyuni                   (22210258)
3. Fika Fitrianti                   (22210770)
4. Nova Farhan Septiani   (25210041)
Abstrak
Ketika memenuhi undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia tanggal 7 – 8 Mei 2003, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).
Pendahuluan
Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.
Terakhir, kata koperasi yang disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi & UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila. 

Pembahasan
 
Reformasi Kebablasan
Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakan deregulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank. Krismon dan krisbank jelas merupakan rem “alamiah” atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid) yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional.
Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata.
   
Amandemen terhadap Amandemen:
Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat
Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut:
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama)
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama)
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat)
Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.
Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.
 
Ilmu Ekonomi Sosial
Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)
Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:
The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142)
Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik.
Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri.
Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.
Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan atau pemecahannya.
 
Penutup
Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.
Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi

Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/index1.php

Review Jurnal

PRAKTEK AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN KOPERASI:
STUDI KASUS PADA KOPERASI KARYAWAN KESEHATAN KABUPATEN JEPARA
 


Kelompok :     1. Astri Rhianti Poetri          (21210198)
                         2. Efa Wahyuni                   (22210258)
                         3. Fika Fitrianti                   (22210770)
                         4. Nova Farhan Septiani     (25210041)
 
 
ABSTRAK  
 
Usaha koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota. Seperti badan usaha lain, koperasi dapat melakukan usaha-usaha sebagaimana badan usaha lain, seperti di sektor perdagangan, industri manufaktur, jasa keuangan dan pembiayaan, jasa asuransi, jasa transportasi, jasa profesi, dan jasa lainnya. Perlakuan akuntansi yang timbul dari hubungan transaksi antara koperasi dengan anggotanya dan transaksi lain yang spesifik pada badan usaha koperasi berpedoman pada PSAK No. 27, sedangkan yang bersifat umum diperlakukan dengan mengacu pada PSAK yang lain. Keadaan ini mungkin membuat manajemen koperasi menjadi kurang mengerti bagaimana membuat pembukuan secara benar sesuai dengan PSAK. Hal tersebut terutama dialami oleh koperasi menengah dan kecil yang berlokasi di desa atau di kota kecil. 
 
I. Pendahuluan 
 
A. Latar Belakang
Koperasi merupakan badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya atas dasar prinsip koperasi dan kaidah ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat sekitarnya, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan. Koperasi memiliki karakteristik utama yang membedakannya dengan badan usaha lain yaitu adanya identitas ganda (the dual identity of the member) pada anggotanya. Anggota koperasi berperan sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi (user own oriented firm).
 
Laporan keuangan menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan. Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen, atau pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Laporan keuangan koperasi yang disusun berdasarkan PSAK, akan membuat informasi yang disajikan menjadi lebih mudah dipahami, mempunyai relevansi, keandalan, dan mempunyai daya banding yang tinggi. Sebaliknya jika laporan keuangan koperasi disusun tidak berdasarkan standar dan prinsip yang berlaku, dapat menyesatkan penggunanya. 

II. Metode Penelitian
 
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian lapangan dilakukan dengan mengunjungi Koperasi Primer Republik Indonesia (KPRI) Karyawan Kesehatan Kabupaten Jepara, mengumpulkan data-data yang diperlukan dan melakukan wawancara dengan pengurus dan karyawan koperasi. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca dan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundangan yang berkaitan, artikel-artikel, catatan-catatan kuliah, internet, dan sumber-sumber lain yang berhubungan.

Data yang diperoleh kemudian diolah untuk mencari praktek akuntansi yang dipakai. Setelah prakteknya diketahui, kemudian dibandingkan dengan standar akuntansi yang berkaitan. Apabila standar akuntasinya di Indonesia belum ada, maka dipergunakan standar akuntasi Internasional (IAS) atau teori akuntansi yang diterima secara umum.

 III. Landasan Teori
 
A. Basis Akuntansi 
B. Pengakuan Pendapatan dan Penetapan Beban Koperasi
C. Perlakuan Aktiva
D. Perlakuan Kewajiban
E. Perlakuan Ekuitas
F. Laporan Keuangan Koperasi

IV. Kesimpulan
 
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan:
Basis akuntansi yang digunakan adalah campuran antara basis kas dengan basis akrual. Basis kas digunakan untuk mencatat pendapatan. Namun sebagian besar masih menggunakan basis kas. Penggunaan tersebut menyebabkan perbedaan jumlah pendapatan dengan jika memakai basis akrual terutama terjadi unit usaha simpan pinjam tidak adanya pengakuan bunga secara akrual pada akhir tahun.
Dan kesimpulan lainnya dapat di lihat langsung dalam jurnal penelitian sesuai dengan sumber yang tersedia. namun secra garis besar laporan keuangan hampir sama yang sigunakan badan usaha koperasi maupun badan usaha lainnya.
 

Review Jurnal

KONSEP DASAR PERKOPERASIAN


          Kelompok :   1. Astri Rhianti Poetri       (21210198)
                                 2. Efa Wahyuni                   (22210258)
                                 3. Fika Fitrianti                    (22210770)
                                 4. Nova Farhan Septiani   (25210041)


ABSTRAK  

Dalam sejarahnya koperasi dikenal sebagai organisasi usaha yang bersama berjuang dalam bidang ekonomi dengan menempuh jalan tepat dan mantap untuk membebaskan diri para anggota-anggotanya dalam kesulitan-kesulitan ekonomi yang umumnya didertita mereka.


I. Pendahuluan

Selama ini diketahui bahwa perkembangan Koperasi dan perannya dalam perekonomian nasional belum memenuhi harapan, khususnya dalammemenuhi harapan sebagai sokoguru perekonomian nasional. Dalam kenyataannya perkembangan koperasi masih jauh tertinggal dibandingkan dengan dua pelaku ekonomi lainnya,yaitu sektor pemerintah (BUMN) dan sektor swasta (BUMS) . Padahal diketahui koperasi merupakan satu-satunya sektor usaha yang keberadaannya diakui secara konstitutional sebagaimana dinyatakan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya.
Hal tersebut memposisikan Koperasi untuk dapat dikelola secara profesional,sehingga diharapkan kelak keberadaannya dapat benar-benar menjadi sokoguru perekonomian nasional. Salah satu faktor yang menentukan adalah aspek keuangan,dalam hal ini adalah pada kemampuan mengelola keuangan dan permodalannya.

II. Pengertian Koperasi 

Dalam sejarahnya koperasi dikenal sebagai organisasi usaha yang bersama berjuang dalam bidang ekonomi dengan menempuh jalan tepat dan mantap untuk membebaskan diri para anggota-anggotanya dalam kesulitan-kesulitan ekonomi yang umumnya didertita mereka. Baik di Asia maupun di Eropa Koperasi lahir sebagai upaya untuk membebaskan anggotanya dari kesengsaraan dan ketertindasan,yaitu sebagai reaksi atas sistem kapitalis yang tidak adil dan menimbulkan kebodohan dan sebagian besar rakyat.Koperasi lahir dengan nilai-nilai jatidiri yang ideal,yang tidak memfokuskan pada individu dan laba semata melainkan kepada kebersamaan karena rasa senasib sepenanggungan dan kesejahteraan anggota. Kedua hal tersebut menjadi ciri self help (menolong diri sendiri) dari Koperasi.

III. Prinsip-prinsip Koperasi Indonesia
Dalam kegiatannya koperasi indonesia selalu berlandaskan kepada prinsip-prinsip koperasi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 5 UU No. 25 Tahun 1992, yaitu :

1. Keanggotaan berdasarkan sukarela dan terbuka
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. Pembagian SHU dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
5. Kemandirian

IV. Tujuan dan Peran Koperasi

Secara umum diketahui bahwa sejarah koperasi adalah dimaksuskan untuk kepentingan anggota khususnya dalam meningkatkan taraf kehidupan ekonominya. Dalam pasal 3 UU No. 25 Tahun 1992 dikatakan bahwa : "Koperasi bertujuan untuk mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam mewujudkan masyarakat yang maju,adil, dan makmur berlandaskan UUD 1945." 

V. Penutup dan Kesimpulan

Koperasi perlu dikelola secara profesional sehingga tercapai efisiensi yang tinggi. Karena tanpa efisiensi mustahil Koperasi dapat memperoleh keuntungan dan tanpa keuntungan bagaimana pula koperasi dapat mensejahterahkan anggotanya? oleh karena itu dalam operasionalnya diperlukan aplikasi dari prinsip-prinsip usaha pada umunya yaitu prinsip rasionalitas,efektivitas,efisiensi dan produktifitas.Keempat prinsip usaha tersebut dapat dilaksanakan dengan menggunakan manajemen Koperasi yang tepat baik dalam manajemen sumberdaya,manajemen produksi,manajemen pemasaran,manajemen keuangan dan manajemen lainnya.


Review Jurnal

PROSPEK PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI
DALAM MASALAH PERBERASAN



         Kelompok :      1. Astri Rhianti Poetri         (21210198)
                                 2. Efa Wahyuni                  (22210258)
                                 3. Fika Fitrianti                  (22210770)
                                 4. Nova Farhan Septiani    (25210041)




ABSTRAK

Modifikasi kebijakan di bidang beras yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 tampaknya telah mengembangkan mekanisme pemasaran beras untuk nasional saham. Koperasi kontribusi dalam mendukung pendapatan petani dan ketersediaan stok beras nasional juga lebih terbatas. Kurangnya kondisi stok datang dari dua tahun terakhir ini juga tampaknya tidak mampu mengubah persepsi terhadap kepentingan peran koperasi untuk menjadi salah satu komponen penting di tingkat nasional pada sistem. Dalam kondisi seperti ini, tampaknya masih koperasi berusaha untuk menjadi ada antara lain dengan mengembangkan model ketahanan pangan beberapa saham seperti bank padi, penyimpanan makanan, dan pusat-pusat pengolahan beras beberapa. Model ini menjamin beras saham di pusat-pusat produksi serta di daerah defisit makanan dan secara bersamaan mengurangi ketergantungan.



I. Latar Belakang
Sampai dengan akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik menginformasikan bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) telah mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99% dari jumlah dunia usaha ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 68,9%-nya bergerak di setor tanaman pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik lahan, penyewa atau penyakap. Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi tumpuan hidup dari 33,508 juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta jiwa rakyat Indonesia. Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub sektor tersebut, maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka. 
Rendahnya harga beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah satu penyebab berkurangnya minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat menurunnya produksi beras dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri memang dapat diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005 mencapai 350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor yang dilakukan pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang masuk melalui jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah mendorong petani agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras sebanyak 2 juta ton. Usaha tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu penyediaan sarana produksi dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan produksi padi juga dilakukan dengan cara menaikkan harga dasar pembelian beras oleh pemerintah (HPP) melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun 2007. Berdasarkan Inpres tersebut HPP Gabah kering panen (GKP) naik dari Rp. 1.723,- menjadi Rp. 2.000,- per Kg, Gabah kering giling (GKG) naik dari Rp. 2.280,- menjadi Rp. 2.575,- per Kg, dan beras naik dari Rp. 3.550,- menjadi Rp. 4.000,- per Kg. 

Dalam upaya mendukung program pengadaan beras nasional ini memang Perum Bulog sudah merangkul banyak pihak terutama para pedagang beras ditingkat Kabupaten dan juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam hal ini Perum bulog juga sudah menjalin kerjasama dengan Induk Koperasi Pertanian (Inkoptan). Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kapasitas Inkoptan dan Koptan tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras oleh Perum Bulog ? Diketahui bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena baru mulai dibentuk pada tahun 1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang
memadai untuk melaksanakan kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit tersebut. Dalam hal ini timbul pertanyaan lagi mengapa Perum Bulog tidak merangkul Koperasi Unit Desa (KUD), yang notabene sudah memiliki pengalaman dan sarana pendukung yang cukup banyak baik berupa Gudang Lantai Jemur dan Kios (GLK) maupun Huler dan berbagai sana pendukung lainnya.

II. Potensi Dan Kendala Koperasi
Keikutsertaan Koperasi dalam Program Swasembada Pangan sudah dimulai sejak tahun 1974 dengan didirikannya Badan Usaha Unit Desa yang kemudian berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa. Selama lebih dari 30 tahun tahun KUD secara aktif telah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, tidak saja dalam pengadaan gabah/beras untuk menudukung stok beras nasional, tetapi juga dilibatkan dalam penyediaan sarana produksi padi (saprodi), pengolahan hasil dan pemasarannya kepasaran umum (pasar bebas). Potensi
Koperasi yang dalam hal ini KUD dalam kegiatan pengadaan Gabah dan beras dalam beberapa Dasawarsa yang lalu memang cukup besar, baik dilihat dari ketersedian sarana, maupun ketersedian personil. Demikian juga sesungguhnya KUD mempunyai keterikatan usaha yang sangat kuat dengan petani, walaupun 
keberhasilan KUD pada waktu itu belum lagi optimal.



III. KEIKUTSERTAAN KOPERASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN
UMKM

Dalam rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan pangan pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil langkah-langkah kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan instansi pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam Negeri. Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama telah ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan khususnya beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuhkembangkan kegiatan usaha dan bisnis koperasi di tengah masyarakat. Usaha koperasi yang sudah berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi lemah dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air. 
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi di sektor pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses produksi pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan Inmas di masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga pemasaran produk. 
Meskipun demikian kini terjadi perubahan seiring berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih mendorong dan mempercepat pencapaian ketahanan pangan, pemerintah kini telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu untuk mempermudah ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan harga terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan income mereka. Sementara di sisi pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai lembaga untuk terlibat dalam pengadaan pangan akan menjamin stabilitas persediaan Dalam Negeri.  



IV. PENUTUP
Perubahan kebijakan dibidang perberasaan yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 ternyata telah membangun mekanisme pasar gabah/beras menjamin posisi petani, yang sekaligus juga tidak menjamin ketersediaan beras untuk stok nasional. Sumbangan koperasi baik dalam mendukung pendapatan petani dan ketersedian stok beras nasional juga semakin terbatas. Kondisi kekurangan stok telah terasa selama dua tahun belakangan ini juga ternyata belum mampu merubah persepsi terhadap kepentingan peran
koperasi untuk kembali menjadi salah satu komponen penting dalam sistem perberasan nasional. Dalam kondisi seperti itu ternyata koperasi masih berusaha untuk eksis antara lain dengan mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentrasentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Eksistensi koperasi ini walaupun relatif kecil tetapi menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki potensi untuk kembali diikutsertakan dalam mendukung sistem perberasan. Tinggal lagi yang diperlukan adalah adanya pemikiran logis dari para pengambil kebijakan untuk menumbuhkan kembali peran koperasi dalam mendukung program ketahanan pangan nasional yang secara nyata semakin tidak menentu.


Sabtu, 17 Desember 2011

Review Jurnal

PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN INDEKS PEKR

Nama Kelompok :
1. Astri Rhianti Poetri        (21210198)
2. Efa Wahyuni                 (22210258)
3. Fika Fitrianti                  (22210770)
4. Nova Farhan Septiani     (25210041)

Abstrak
Pembangunan ekonomi koperasi merupakan bagian integral dari ekonomi nasional pembangunan. Kapasitas yang lebih tinggi dari daerah dalam perekonomian nasional, itu harus tercermin pada ekonomi yang lebih tinggi kerjasama regional. Dalam era outonomy daerah, koperasi developmet merupakan salah satu utama kewenangan kepala daerah. Sesuai dengan lingkungan dan iklim perubahan, setiap provinsi akan memacu untuk mengembangkan ekonomi koperasi untuk penduduk materalizing perekonomian. Salah satu dorongan untuk meningkatkan persaingan antar daerah adalah dengan mengidentifikasi posisi provinsi secara nasional. Dengan menggunakan kinerja ekonomi regional koperasi / PEKR indeks, maka peringkat provinsi di dapat diidentifikasi. Hasil analisis menunjukkan yang baik kinerja dari satu provinsi tidak selalu ditunjukkan oleh kapasitas ekonomi tinggi regional di perekonomian nasional. Pada 2006, peringkat tertinggi dicapai oleh Provinsi Gorontalo, meskipun provinsi ini memiliki kapasitas ekonomi yang rendah daerah, tetapi mampu menciptakan yang sangat ekonomi koperasi tinggi.

Pendahuluan
Pasca krisis ekonomi Indonesia telah memasuki usia satu dekade. Kemajuan perekonomian Indonesia secara mendasar masih belum signifikan, meskipun stabilitas ekonomi makro telah pulih, khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang terkendali, dan neraca perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh stabilitas politik. Pembangunan koperasi adalah salah satu strategi setiap kepala daerah dalam pembangunan ekonomi. Mengapa demikian? Karena koperasi telah dikenal luas selama ini sebagai lembaga yang dianggap mampu mewadahi masyarakat mencapai cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan kultur kerjasama. Apakah perekonomian daerah yang tinggi dapat mencerminkan kemampuan propinsi mengembangkan koperasi? Hal ini patut dipertanyakan mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali yang paling tinggi di Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali dalam mengembangkan ekonomi koperasi.


Pembahasan

·         Metode Analisis
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di atas. IPEKR atau indeks RCEP menjelaskan bagaimana performa relatif ekonomi koperasi secara regional atau ukuran ekonomi koperasi setiap propinsi terhadap relatif ekonomi regional secara nasional.
·         Hasil Analisis
-          Rating dan Peringkat Propinsi
Jika IPEK <1 lebih sedikit daripada IPEK >1 hanya sebagian kecil dari propinsi yang mampu menunjukkan performa baik dalam pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini sebenarnya memprihatinkan mengingat rencana strategi setiap kepala daerah selalu menempatkan koperasi sebagai obyek pembangunan daerah yang terpenting.
-          Ukuran Ekonomi Regional
Jika  propinsinya mampu menggerakkan sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi tersebut dinyatakan bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya dan juga sebaliknya.
-          Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Dimensi ini menunjukkan sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi koperasi secara nasional.


Penutup

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tetapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi.


Sumber : http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_3_2008/04_Johnny_W.pdf